Jumat, 18 November 2011

HIDUP TANPA KEPASTIAAN


Daun itu jatuh, tanpa seorang pun memperhatikan, melayang sekian detik sampai akhirnya menyentuh tanah. Dengan kepastian perlahan ranting-ranting mulai mengering, rapuh. Getah pohon mengeras, mewarnai diri sejati dengan kulit ari si pohon.  Siapa peduli kepada kodrat alam ini? Yang pergi akan tetapi pergi, yang seharusnya jatuh akan tetapi jatuh. Segalanya berjalan seperti seharusnya. Sesungguhnya, alam memang telah mengajarkan arti kerelaan, rela merasa hilang kepada sesuatu yang sesungguhnya tak pernah memiliki. Kepadamu senyawa pagi, daun jatuh merelakan diri sebagai tumbal yang nantinya akan bermetamofosa menjadi senyawa-senyawa yang menyuburkan. Dan selalu, ranting menjadi rapuh, lapuk tuk digantikan. Ya, akan selalu ada yang harus dikorbankan, meski pengorbanan itu terkadang tanpa perhitungan.
Semakin lama bumi semakin rajin ia akan berputar, entah siapa yang membuat hari-hari Dejavu terasa begitu sering menyapa. Masih sama seperti hari sebelumnya, yang berbeda hanya suasana di mana di tempat ia singgahi. Setelah sekian lama ia melarikan kesedihan kepada sudut terkelam hidupnya, ia masih selalu bersembunyi. Ranting kesedihannya masih terasa ngilu tiap kali ingat tentang kenyataan hidupnya.
Duduk terdiam, dalam perhelatan sunyi, kubungkam segala kebebasan tentang angan. Dejavu tak berani berpikir, bermimpi tentang masa depan. Masa depan bukan miliknya. Di setiap malamnya ia mulai dengan menyentuh keyboard leptopnya. Di sini di setiap gurat sepi, dingin dan angkuh bersemayam abadi. Setiap lekuk wajah menerjemahkan satu cerita, jejak-jejak langkah yang sudah dimulai entah kapan dan kapan berakhir.
Raut wajah di cermin di hadapannya dengan suara jangkrik dan selaksa-selaksa rindu pada merah saga sang mega. Mengapa tuhan mengambilnya dariku terlalu cepat hingga ia ijinkan Dejavu untuk dapatkan pengganti dirinya. Saat ia menghembuskan nyawa terakhirnya menyisakan kesedihan yang terdalam. Burung layang-layang senang sekali hingga di pinggiran atap rumahnya di salah satu atap kamarnya, mengintip genit menyembunyikan dirinya. Satu penghidupan tentang makhluk tuhan, tapi aku selalu tak mengerti dengan jalan hidupku sendiri, rasanya terlalu asyik menjadi penonton ketimbang menjadi pelaku.
Baginya menjalani hidup tanpa kepastian, tak pernah membuat Dejavu menjadi mengerti apakah ini benar-benar hidup atau sekedar hidup begitu banyak pilihan, begitu banyak pendakian yang melelahkan, dan ketika mencapai puncak ternyata ada yang jauh lebih melelahkan, “BERTAHAN”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar